Sunday, December 28, 2008




Silent Economic Development

Ekonomi, satu hal yang tidak dapat dilepaskan dari kehidupan orang manapun. Bagaikan kendaraan tanpa roda, kehidupan orang tidak akan berjalan dengan lancar apabila terdapat masalah ekonomi. Namun, tidak kesemuanya kegiatan masyarakat yang tidak terlaksana karena hal ekonomi, hal ini menjadi mayoritas saja.
Pasar adalah kumpulan para penjual dengan jenis barang yang sama atau beragam tanpa adanya unsur monopoli dalam transaksinya. Pasar memiliki beberapa jenis, dilihat dari ukuran, dilihat dari barang yang dijual, dilihat dari periodesasi, dan juga dilihat dari jenis pasar itu sendiri.
Pasar dilihat dari ukurannya, pasar kecil, pasar sedang, pasar besar dan pasar induk. Pasar kecil biasanya menangani wilayah yang kecil, satu kompleks blok dalam perumahan misalnya, yang hanya memiliki stok sedikit untuk warga blok tersebut saja. Pasar sedang biasanya memiliki lingkup penjualan beberapa blok dalam perumahan atau beberapa gang dalam masyarakat paguyuban atau biasanya satu kelurahan.
Pasar besar memiliki stok yang dapat diandalkan oleh warga suatu kecamatan atau bahkan kota. Pasar induk, lebih luas lagi, dimana pasar tersebut menjadi pusat untuk para tengkulak dari daerah yang berada di sekitar kota tersebut.
Pasar dapat dibedakan menurut barang yang dijual, antara lain pasar sayur mayor, pasar buah, pasar burung atau binatang, pasar bunga atau tanaman, pasar kelontong, pasar furniture dan masih banyak jenis pasar yang disesuaikan dengan komoditi apapun yang mayoritas atau hanya dijual dalam pasar tersebut.
Penamaan pasar lainnya adalah pasar periodesasi, sesuai waktu penylenggaraanya dan juga sesuai dengan jenis pasar, yakni tradisional, semi modern dan modern.
Malang sebagai kota yang memiliki “Tri Bina Cipta” yaitu sebagai kota Pendidikan Internasional, Kota Pariwisata dan Kota Industri, memiliki sektor ekonomi yang mempengaruhi bagi kota atau kabupaten disekitarnya maupun propinsi tempat Kota Malang berdiri, yaitu Jawa Timur. Pasara di kota Malang merupakan salah satu penggerak perekonomian di Malang dan sekitarnya, bahkan Indonesia dan Manca Negara.
Salah satu pasar yang telah ada di Kota Malang sejak dahulu adalah pasar Comboran. Pasar ini terkenal dengan penjual-penjual barang-barang bekas dan curi dari kota Malang dan sekitarnya. Pasar yang unik ini sangat digemari orang yang mencari perlengkapan untuk kendaraan bermotor dan barang bekas lainnya.
Keunikan pasar ini sendiri ada pada letak pasar yang dibelah oleh rel kereta api aktif. Jadi sewaktu-waktu apabila sirine lokomotif dan peluit petugas berbunyi, para penjual dan pembeli yang sedang bertransaksi, harus rela memberikan tempat bagi rangkaian kereta untuk lewat terlebih dahulu.
“saya sendiri menyimpulkan bahwa barang-barang (khususnya yang bekas curi) akan sangat sulit untuk dicari lagi oleh pemiliknya, karena penjual disini mempunyai trik-trik sendiri yang berhubungan dengan reproduce.”
Pasar ini telah mengalami proses renovasi oleh pemerintah kotamadya Malang pada tahun 2006. Gedung baru berlantai tiga, dengan jumlah kios yang lebih dari dua puluh unit per lantai dan fasilitas gedung parkir ini, memiliki banyak sisi kemirisan. Masyarakat penjual seharusnya dapat memanfaatkan fasilitas yang diberikan pemerintah.
Kemudahan tersebut tidak terlihat saat saya dan partner saya mengunjungi pasar tersebut (27/12/2008). Di lantai satu, kami hanya menemukan ibu-ibu dan para pria mengupas bawang merah dan menguliti kelapa. Naik dengan tangga yang masih kokoh berdiri belum tampak ketuaannya, walaupun terdapat beberapa porselen yang retak, lantai dua kami jajaki.
Tak jauh berbeda dengan keheningan pasar di lantai dua ini. Hanya orang-orang yang menjajakan pakaian-pakaian bekas dan beberapa gerai arloji yang dijaga malas oleh pemiliknya. Lantai teratas, yakni lantai tiga, keheningan lumayan tidak terasa. Di lantai teratas ini, beberapa warung berdiri, dua orang penjahit sebaya pun mendirikan usaha mereka disini.
Kemirisan pasar ini masih belum menemui jalan terang baik dari pihak pemerintah maupun masyarakat penjual di lingkungan pasar Comboran. Tidakkah mereka menyadari bahwa tempat usaha mereka mengandung berbagai jenis bahaya.
mereka dipungut biaya beli kios 3,5 juta rupiah dan harus dibayar tunai, mungkin masalah ini menjadi sorotan yang sangat pelik bagi para pedagang.
“saran saya untuk anda yang akan berkunjung ke pasar ini, bawalah seorang Malang asli, karena untuk berkomunikasi dengan para penjual yang mayoritas beretnis madura ini, diperlukan pemikiran yang unik, yang hanya dimengerti orang Malang saja.”










Thursday, December 25, 2008

dream comes true

short way for your breakfast

BREAKFAST of A SUN

Hujan turun mirip orang dapet kredit, kadang deres, kadang gerimis. Nino berdiri diujung halte, menunggu bus kearah fakultasnya. 15 menit berlalu, namun bus yang biasanya datang tepat waktu, sepertinya belum menunjukkan batang hidungnya. Nino menerobos hujan, berjalan menuju fakultasnya yang berjarak satu kilo.
“No, kamu jalan kaki?” Teriak Dewi dari halte, Nino hanya menganggukkan kepala, sambil tetap menyusuri jalan.
Nino sampai di gedung kuliah dengan pakaiannya yang basah kuyup. Kembali ia menyusuri tangga menuju lantai tiga. Lorong-lorong sepi dan gelap karena mendung menyapanya. Jurusan matematika memang tidak punya mahasiswa sebanyak jurusan lainnya di FMIPA. Nino masuk dalam kelas, saat dosen statistik 3-nya baru selesai menuliskan rumus.
“maaf Bu, saya terlambat lagi.” Kata Nino.
“silahkan duduk.” Kata dosennya dengan nada perlahan, lalu melanjutkan proses mengajar mahasiswanya. Tak lama, pintu diketok, Dewi dengan wajah merah, masuk kedalam kelas.
“maaf Bu, saya..” kata Dewi.
“silahkan duduk.” Kata dosen itu lagi dengan nada yang sama, perlahan. Lalu melanjutkan proses mengajarnya yang masih tersisa 80 menit itu.
“No, cepet amat kamu?” kata Dewi sambil mengeluarkan buku dari dalam tasnya.
“lari.” Jawab Nino singkat sambil menulis resume penjelasan. “nah kamu bukannya naik bus?”
“adu..h, bisnya lelet dateng. Udah gitu, di administrasi pake mogok lagi.” Jawab Dewi menggebu-gebu. Hingga sebuah suara dari depan kelas membuatnya berhenti.
“jangan lupa, minggu depan kita kuis, nanti bahan untuk kuis, saya titipkan ke asisten. Selamat siang.” Kata dosen itu sambil keluar kelas.
“eh No’, kamu habis ini kemana?” Tanya Dewi sambil membaca sms di handphonennya.
“ke perpustakaan, pinjem statistik 3, Quanti sama Kalkulus 3. kenapa?” kata Nino sambil menutup zipper tasnya.
“oh, nggak, aku mau nebeng pulang, kalo gitu, aku tunggu di administrasi ya!” kata Dewi.
“nanti kalo aku sudah di parkiran, aku sms.” Kata Nino sambil masuk dalam lift.
“oke.” Jawab Dewi sambil berjalan kearah administrasi.
Nino masuk dalam rak kalkulus dan menemukan sisa kalkulus 3. satu eksemplar, baru ia mau mengambilnya, seorang cewe menariknya lebih dulu.
“maaf mbak, bukunya mau saya pinjam.” Kata Nino dengan nada perlahan.
“enak aja! Nggak ada tulisannya, buku ini sudah kamu pinjam.” Kata cewe itu ngotot.
“iya mbak, tapi buku itu mau saya pinjam.” Kata Nino.
“nggak! Enak aja kamu! Cari yang lain kenapa.” Bentak cewe itu. Nino menghela nafasnya panjang sambil memandang lagkah cewe itu kearah layanan peminjaman. Ia segera membawa buku Quanti dan Statistik 3-nya menuju layanan.
“eh, kamu ngapain ngantri dibelakang sini? Sebelah kana sama kiri kosong tuh.” Kata cewe itu lagi dengan nada judes. Dengan berat hati, Nino pindah ke layanan sebelahnya.
Cewe itu selesai melakukan layanan, Nino mempercepat prosesnya, dan mendapati kartu mahasiswa cewe itu tertinggal.
“Gabbriella Santi Widjaja, matematika 2007?” kata Nino perlahan, sambil cepat keluar dari perpustakaan. Didepan perpustakaan, Nino melihat Gabriella duduk di depan perpustakaan menunggu hujan reda.
“Gabriella!” panggil Nino.
“kamu? Tau dari mana namaku?” Tanya Gabriella tidak terima.
“ini, kartu mahasiswa kamu ketinggalan.” Jawab Nino sambil menyerahkan katu mahasiswa milik Gabriella.
“aduh, gara-gara kamu kan, aku jadi lupa sama KTMku sendiri.” Kata Gabriella.
“iya, aku minta maaf! Mm… iya, ngga apa-apa kok buku kulkulus 3nya kamu bawa, tapi sekarang aku pinja..m, sebentar ya! Aku fotokopi.” Kata Nino.
“nggak, kamu bawa lari nanti.” Kata Gabriella.
“nggak! Janji deh!” kata Nino. “Cuma difotokopi aja kok.”
“kamu boleh fotokopi, dengan syarat, ke fotokopi sama aku.” Kata Gabriella.
Nino mengangguk dengan senyum senang. Mereka berjalan menuju fotokopian yang ada di belakang perpustakaan. Mereka berdua duduk menunggu fotokopian, tak lama terdengar suara-suara dari perut Nino.
“negh, suara apaan itu tadi?” Tanya Gabriella.
“perutku, aku ke kantin sebentar.” Kata Nino sambil lari kea rah kantin diseberang perpustakaan. Gabriella tertawa sejadi-jadinya.
Nino kembali dengan 2 botol teh dingin dan 2 roti isi.
“ini, buat kamu.” Kata Nino sambil memberikan teh dan roti isi.
“rotinya ngga kamu kasih racun kan?” kata Gabriella.
“tenang, aman kok!” kata Nino sambil duduk.
“makasih.” Jawab Gabriella singkat.
“paling-paling sakit perut.” Kata Nino sambil tertawa kecil. Seketika Gabriella berhenti makan dan menatap sini Nino.
“nggak! Becanda!” kata Nino. “buktinya aku makan. Sory, sory tadi becanda.”
Gabriella dan Nino mulai makan lagi.
“kamu anak matematika 2007 kan?” Tanya Nino membuka pembicaraan.
“iya!” jawab Gabriella singkat.
“kok, sama-sama anak matematika, kita nggak saling kenal ya Gab..?” tanya Nino.
“panggil aja aku Gaby.” Kata Gaby.
“oh, iya Gaby.. aku Nino!” kata Nino.
“kamu anak matematika? Kelas apa?” Tanya Gaby lagi.
“A2. kamu?” Tanya Nino.
“oh, pantes kita sama-sama nggak tau, aku kelas B2, kelasnya sore-sore.” Jawab Gaby dengan nada lebih pelan dari sebelumnya.
“jadi sebentar lagi kuliah dong?” Tanya Nino.
“iya.” Jawab Gaby.
“mas, fotokopiannya.” Kata penjaga fotokopian.
Nino segera membayar dan mengambil fotokopiannya.
“ini bukunya. Makasih ya!” kata Nino sambil memberikan buku kalkulus 3 pada Gaby.
“iya, sory ya masalah tadi didalem perpus.” Kata Gaby malu.
“ngga apa-apa kok. Oh iya, nomer handphone kamu berapa?” Tanya Nino, alhasil mereka bertukar nomor handphone. Setelah itu mereka berpisah, Nino kembali berdiri di halte, menunggu bus ke tempat parkir.
Hujan turun rintik-rintik, saat Nino masuk dalam mobil dan mengirim sms ke Dewi. Nino menyalakan mesin mobil saat Dewi membuka pintu dan masuk.
“kenapa kamu senyum-senyum No?” Tanya Dewi.
“ceritanya panjang.” Kata Nino sambil menjalankan mobilnya. Sepanjang jalan menuju rumah Dewi, Nino menceritakan kejadian demi kejadian yang ia alami tadi, dengan respons seadanya, Dewi hanya tertawa.
“ya ampun, bisa juga ya kamu. Makasih ya! Besok, kamu ikut kuliah komputerisasi tabel?” Tanya Dewi sambil turun dari mobil.
“iya! Kamu nggak ambil ya?” Tanya Nino.
“ya gimana mau ngambil, 20 sks udah untung! Ati-ati ya! Salam buat Gaby.” Kata Dewi sambil menutup pintu.
“ok.” Jawab Nino sambil menjalankan mobilnya.
Seperti biasa, saat pagi menjelang, Nino sudah berdiri di halte, bahkan sebelum mesin bus kampus menyala. Nino kembali berjalan kaki ke fakultasnya yang berjarak satu kilo.
Si lantai empat, hanya ada enam mahasiswa angkatan 2005 dan Resno.
“wuih, pagian kamu.” Kata Nino.
“biasa aja.” Jawab Resno yang terkesan pelit ngobrol.
“oh..” kata Nino lagi menelan bulat-bulat kegaringan Resno.
Beruntung, tak lama suasana berubah, saat angkatan 2007 yang lain mulai berdatangan dan kuliah dimulai. Setelah kuliah selesai, Nino menerima sms Gaby, lalu melangkah ke arah kantin.
“hei No.” sapa Gaby.
“hei.” Jawab Nino.
“kenalin ini Markus, Angel, Siska, Debi sama Nana.” Kata Gaby mengenalkan satu per satu temannya. Nino menjabat tangan teman Gaby satu per satu. Tak lama, sekonyong-konyong Dewi datang.
“eh iya kenalin, ini Dewi.” Kata Nino.
“ada apa ini?” kata Dewi sok artis, disusul suara tawa mereka semua.
“adu..h, kasian ya, anak autis itu, diculik. Mintanya apa ya penculik itu?” kata Debi membuka pembicaraan.
“aduh iya, kasian orang tuanya tuh.” Tambah Dewi.
“ngapain sih anak autis aja dipikirin, nyusahin aja adanya! Coba kalian lihat, mana ada sih orang yang suka deket sama anak autis, ntar ketularan lagi.” Kata Gaby berkomentar.
“kamu kok gitu sih Gab.” Kata Angel.
“mm, maaf aku ada acara.” Kata Nino sambil langsung berlari pergi.
“No.. kamu mau kemana?” Tanya Gaby sedikit berteriak, namun Nino terus berlari menuju halte.
“Gab, aku perlu ngomong!” kata Dewi.
“ada apa sih Wi?” Tanya Gaby.
“Nino pulang karena tersinggung.” Kata Dewi singkat.
“ha? Tersinggung? Apa?” Tanya Gaby dengan ekspresi innocent.
“iya, waktu kamu bilang autis itu nggak berguna.” Kata Dewi dengan intonasi tinggi.
“emang kenapa?” Tanya Gaby lagi. “sah-sah aja kan aku ngasih pendapat.”
“iya, tau Gab, tapi, asal kamu tau, Nino itu, ah, pokoknya, nanti, kamu harus ikut aku, aku mau tunjukin sesuatu.” Kata Dewi sambil berlalu.
Setelah kuliah selesai, Dewi dengan langkah cepatnya menghampiri Gaby.
“kamu udah siap.” Kata Dewi.
“kita mau kemana sih Wi?” Tanya Gaby.
“kamu nanti akan tau sendiri Gab.” Jawab Dewi.
Sepanjang jalan, pertanyaan demi pertanyaan membanjiri otak Gaby, hingga akhirnya mereka sampai di depan sebuah rumah.
“ini.. rumah siapa?” Tanya Gaby.
“Nino.” Jawab Dewi sambil memencet bel. Tak lama, seorang pembantu keluar tergopoh-gopoh.
“mbak Dewi.” Kata Atik, pembantu Nino.
“iya mbak, tapi jangan bilang Nino dulu ya mbak, kalo kita dateng.” Kata Dewi perlahan.
Mereka masuk dalam pekarangan rumah, menaruh motor dipojokan taman, dan masuk melalui pintu garasi.
“Silvynya ada mbak?” Tanya Dewi perlahan.
“ada sama mas Nino mbak.” Jawab Atik.
“Silvy?” Tanya Gaby sambil mengrenyitkan dahinya.
Mereka naik ke kamar Silvy, terdengan suara Nino bersama Silvy. Dewi membuka sedikit pintu kamar.
“Gab, aku harap kamu bisa lihat ini.” Kata Dewi.
Gaby melihat dari celah pintu yang dibuka Dewi, seorang balita autis bersama Nino, bercanda dan tersenyum. Seketika hati Gaby entah menjadi apa, ia hanya dapat menghela panjang nafasnya.
“No, aku minta maaf.” Kata Gaby dengan wajah pucat pasi.
“Gaby.” Kata Nino. “buat apa kamu kesini?”
“aku kok yang bawa dia.” Tambah Dewi.
“aku nggak ngerti, kalo adikmu..” kata Gaby.
“udah biasa kok, orang-orang sombong itu, mencibir kekurangan orang lain.” Kata Nino. “lagian juga, aku nggak ada larangan untuk orang didekatku membicarakan mereka.”
“No, aku minta maaf.” Kata Gaby.
“maaf Gab, aku nggak bisa maafin orang-orang seperti kamu.” Jawab Nino.
Tak terasa Gaby menitikkan air matanya.
“Gab, simpan aja air matamu untuk sesuatu yang berguna, daripada kamu sakit hati berteman dengan seorang kakak anak autis.” Kata Nino sambil melangkah keluar.
“No.” kata Gaby.
“Gab, aku inget kita pernah kenal, tapi bukan sebagai teman.” Jawab Nino sambil pergi.
Dewi hanya bisa diam, melihat reaksi Gaby dan Nino. Tak lama, mereka pulang.
“sudah banyak kok Gab, orang sepertimu, yang nggak akan pernah dikenal lagi sama Nino.” Kata Dewi.
Esok hari menjadi sepi kembali, Nino berjalan sendiri, tanpa senyum yang biasa menyertainya setiap pagi.

Wednesday, December 24, 2008

confused what still to do??

hehehe,,
i took more achievement..
be the friendship's jaka of Malang Regensies..
be the national unique programe of green ultimate agent..
be down to earth..
hahaha

i confused to change all my habit,,
but i stange..
hahaha..
ridiculus,,

but i just wanna say that..
i feel love anymore..
againnnnnnnnnnn,,

hehehe
but i proud of my,,
i can handle more event..
hohoho

just wait what next i'll report to you..
hehehe,,
^^,